Pelaksanaan pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres) yang selama ini dilakukan terpisah (tidak serentak) dinilai tidak efisien. Selain biayanya yang sangat besar, pelaksanaan pemilu tidak serentak telah menimbulkan kerugian hak konstitusional warga negara sebagai pemilih.
Atas dasar itu, Pakar Komunikasi Politik, Effendi Gazali mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) ke MK. Effendi memohon pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres terkait penyelenggaraan pemilu dua kali yakni Pemilu Legislatif dan Pilpres.
Misalnya, Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres menyebutkan pemilihan umum presiden dan wakil presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Effendi menilai pelaksanaan pemilu lebih dari satu kali telah merugikan warga negara yang mempunyai hak pilih. “Kerugiannya, kemudahan warga negara melaksanakan hak pilihnya secara efisien terancam dan dana pemilu tidak serentak amat boros, seharusnya bisa digunakan untuk pemenuhan hak-hak konstitusional lain,” kata Gazali dalam sidang perbaikan permohonan di Gedung MK, Rabu (20/2).
Dia mengatakan pelaksanaan pemilu secara serentak selain efisien (hemat) dapat mendidik para pemilih menjadi cerdas. Cerdas yang dimaksud Gazali, dengan menerapkan sistem presidential coattail dan political efficasy (kecerdasan berpolitik). Presidential Coattail, setelah memilih calon presiden, pemilih cenderung memilih partai politik atau koalisi partai politik yang mencalonkan presiden yang dipilihnya.
“Kalau presidential coattail, pemilih memilih presiden sama dengan pilihannya untuk anggota DPR dan DPRD dalam satu partai. Tetapi, kalau political efficasy, dia bisa bisa memilih anggota legislatif dan memilih presiden yang diusung partai lain. Ini bisa dilakukan kalau pemilu legislatif dan presiden dilakukan serentak,” tegasnya.
Menurutnya, jika pemilu dilakukan secara serentak, setiap warga negara dapat membuat peta dibenaknya tentang check and balances versi pemilih. “Kalau pemilu tidak serentak seperti sekarang, ada campur tangan parpol untuk menerapkan sistem threshold (ambang batas 20 persen dan 25 persen),” katanya. “Pemilu serentak juga untuk menghemat anggaran, seperti biaya politik, biaya kampanye. Hitungan-hitungan banyak pihak itu bisa hemat sampai Rp120 triliun.”
Selain itu, original intent Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945, dapat ditemukan pemikiran awal anggota MPR saat menyusun amandemen UUD 1945 pada tahun 2001. Dengan jelas, Pemilu diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih sekaligus anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden.
“Dalam risalah sidang-sidang Panitia Ad Hoc I BP MPR hingga sidang paripurna, selalu muncul kata-kata ‘pemilu bareng-bareng’ (serentak) atau ‘pemilu lima kotak’,” ujar Effendi mengingatkan.
Untuk itu, dirinya meminta MK membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres. Sebab, pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), (2) UUD 1945.
Ketua Majelis Panel, Moh Mahfud MD mengatakan permohonan ini akan dibahas dalam rapat permusyawaratan hakim. Nantinya, akan diputuskan apakah permohonan ini akan dilanjutkan ke sidang pleno atau langsung bisa diambil keputusan.
”Untuk menentukan kelanjutan sidang ini, permohonan ini akan dirapatkan dulu, Saudara tunggu saja panggilan sidang berikutnya!” kata Mahfud.
benarkah lebih efisien??